Selama hampir tiga tahun menempuh pendidikan menengah atas, ditambah pengalaman-pengalaman terdahulu menempuh pendidikan menengah pertama dan pendidikan dasar, penulis menemui satu persamaan yang tidak dapat dipungkiri: gurunya. Khas Indonesia sekali. Dan mereka memiliki salah satu atau beberapa tipikal dari yang berikut:
Tipikal yang pertama adalah guru yang berkharisma dan berwibawa. Umumnya mereka memiliki kumis dengan beragam intensitas, sorotan mata yang mampu menenangkan Selat Malaka, air muka yang selalu tenang, tegas, dan konsisten, tetapi mampu menyesuaikan diri terhadap sikon yang berbeda-beda, memiliki aura pembawaan yang tidak bisa dianggap remeh, dan berbadan sedikit besar. Apakah anda mengira mereka semua bermarga Batak, yang sudah tersohor kelantangannya dari Padang Sidempuan hingga Timika? Tidak semuanya. Ah lagipula, tidak perlulah penulis membahas suku bangsanya. Tidak penting itu. Kembali ke bahasan, guru yang seperti ini biasanya disegani secara bawaan. Sepenggal "wah" saja rasanya mampu meluluhkan kopel, apalagi "Nak belajarlah yang benar dan jadilah orang yang membanggakan". Pribadi mana yang tidak akan diam dan gemetar terhadap sosok seperti ini? Biasanya mereka jarang sekali meninggikan nada suaranya, apalagi sampai mogok ngajar (baca: ngambek). Bila guru macam ini berada dalam jajaran pengajar, biasanya mereka memiliki pengetahuan materi yang demikian luas. Jangankan membolos, tidur pun akan terasa sayang. Sedangkan bila guru macam ini berada dalam jajaran eksekutif sekolah, tangan dingin merekalah yang membuat sekolah anda tersohor sepanjang khatulistiwa.
Bagai se kuntum bunga ini Indah Menawan, menyejukan |
Tipikal yang kedua adalah guru yang mendamaikan. This is the one who makes your life easier. Mereka tidak sekharismatik atau memiliki wibawa seperti tipikal guru yang pertama. Mereka pun belum tentu masuk jajaran eksekutif. Walau sebagai guru pengetahuan materi mereka biasanya mumpuni. Tetapi sosok seperti ini adalah pilar penyeimbang yang paling penting dalam setiap jenjang sekolah. Entah itu senioritas, entah itu masalah kurikulum, entah itu kebijakan sekolah yang tidak pro-rakyat, mereka selalu mempunyai pendapat yang sungguh solutif, meredam amuk, dan ah..indah sekali semanis madu. Mereka selalu melihat masalah dari kacamata yang berbeda, atau bahkan tidak memakai kacamata sehingga segala sesuatu selalu terlihat jernih. Mereka bukanlah tipikal yang senang meninggikan suara, apalagi bermain spidol. Tetapi sekalinya mereka kecewa, tentu engkau akan merasa ada sesuatu yang betul-betul salah dalam sekolahmu. Singkat kata, sosok seperti ini laksana Mr. Kobayashi pada novel Totto Chan: Little Girl at the Window. Sebagai tambahan, terkadang tipe guru ini juga memiliki ciri-ciri yang sama seperti tipe guru pertama, menjadikan sosok pendidik yang lebih disegani ketimbang bapak presiden.
Tipikal yang ketiga adalah yang paling tersohor semenjak jaman Sekolah Rakyat. Beragam julukan bagi tipe ketiga ini. Ada yang menjuluki mereka AMS (ABRI Masuk Sekolah), Killer, Siluman, Kacau, Parah Banget,...dan makian yang tidak bisa anda bayangkan kata-kata itu menyebar dari jenjang dasar hingga menengah atas. Mereka adalah sosok yang sangat menjunjung tinggi Sapta Marga dan Tugas Pokok TNI, dengan motto "Disiplin itu Indah". Bagi mereka, tindakan indisipliner siswa adalah sangat tidak kompatriot, dan hanya teguran serta sanksi yang keras yang dapat meluruskannya kembali. Biasanya mereka adalah guru-guru ilmu eksakta, sesuai sekali dengan nature of science yang lugas, tegas, dan tidak pernah bohong. Mereka juga kerap ditemukan pada sosok guru sejarah dan tata negara, yang dua hal ini merupakan essensi mendasar dari nilai kebangsaan kita. Walau, sosok macam ini sesungguhnya ditemukan di seluruh lini. Guru macam ini, sebenarnya adalah warisan dari pendidikan kita pada era kolonial. Maklum saja, orang Belanda memang lama dikenal sebagai orang yang sangat ketat pada hal macam ini, kalau tidak mana mampu mereka menjajah kita? Kembali ke tipikal nomor tiga, walau apapun yang mereka lakukan, sosok seperti ini sesungguhnya kita perlukan, beriringan dengan tipikal nomor dua. Saling bersinergi membentuk bangsa yang berkarakter, tegas, dan lugas. Jika pada beberapa puluh tahun yang lalu saja bangsa hasil didikan guru yang mayoritas tipikal nomor tiga saja sekarang banyak yang korupsi, apalagi jaman sekarang yang sangat sulit mencari guru yang berkarakter? Jadi, bapak-bapak dan ibu guru, kebencian kami terhadap anda sungguh sangat sementara dan diskrit. Teruslah menjadi setan, toh Tuhan juga menciptakan setan, beriringan dengan malaikat? Walau toh ya mbok jangan tega-tega pak, bu.
Yang keempat adalah mereka yang standar-standar saja. Bisa tinggi bisa rendah, bisa berubah-ubah sesuai sikon. Walau jika kita lihat lebih lanjut lagi, mereka sesungguhnya hanya Oemar Bakri biasa, yang pulang pergi naik angkot, atau kalau lebih mujur lagi memiliki kendaraan sendiri. Mereka adalah contoh nyata kegagalan pemerintah dalam mengembangkan sumber daya manusia, dan yang selalu mengagung-agungkan Outsourcing, atau apalah yang luar-luar. Baiklah ini tidak ada juntrungannya. Penulis percaya, sesungguhnya sarjana keguruan ini adalah potensi yang jika dipoles, sangat menjanjikan. Masyarakat yang salah kaprah pun turut serta membentuk tipe tipikal macam ini. Apa ada yang salah terhadap S1 Keguruan? Mengapa harus melulu S1 Akuntansi, Kedokteran, Teknik Informatika, atau Ilmu Ekonomi?
Tipikal kelima? Sebenarnya penulis tidak mau membicarakan hingga tipikal nomor lima. Tetapi karena anda selalu ingin tahu baiklah ini dia. Merekalah yang merusak, menyedihkan, alias bikin malu mendiang Ki Hajar Dewantoro. Orang-orang menyebut mereka oportunis, blessing in disguise, penjilat, bromocorah, jauh lebih parah dari makian yang dilontarkan siswa kepada tipikal nomor tiga, yang dibalik makian biadab itu masih menyimpan rasa hormat yang demikian tinggi. Nah yang ini, adalah tidak tahu malu. Guru yang menganjurkan kecurangan massal, memanipulasi iuran pendidikan peserta didik baru, yang tidak mengerti kehendak siswa, yang menganakemaskan dan menganaktirikan sesuatu, sangat tidak mungkin direncanakan untuk menjadi guru. Hal ini tentu bukan bahan bercandaan yang serius. Sekali lagi, inilah bukti lingkaran setan telah mencapai radiusnya dalam lingkungan sekolah. Sungguh-sungguh menyedihkan. Mau anda kemanakan muka jutaan pelajar di Indonesia yang menyanyikan hymne guru setiap tanggal 2 Mei? Penulis masih bisa memaklumi jika oknum yang seperti ini berkerja di tempat pengurusan SIM, tetapi di sekolah? Wajar saja jika kelak generasi yang anda bayangkan-lah yang akan menggantikan generasi kini, toh semua itu ternyata sudah dimulai semenjak wajib belajar 9 + 3 tahun? Tidak, tipikal macam ini bukanlah penyeimbang atau pilar yang harus ada. Sebaliknya: jangan sesekali pernah ada.
Nah demikianlah tipikal guru yang penulis rasa pernah temui dari pendidikan dasar hingga menengah atas.
Ibarat orang tua kedua, guru adalah sosok yang penulis rasa paling berpengaruh dalam pertumbuhan intelektual setiap pribadi. Melalui tangan dingin seorang guru pelajar-pelajar di Indonesia merajut masa depan. Tetapi, sudah idealkah guru Indonesia?
Tentu tidak akan pernah ideal, karena jika sesuatu sudah mencapai kondisi yang ideal, mana mau bergerak revolusioner, keluar dari zona kepastian dan kenyamanan? Sementara, pendidikan seyogyanya terus berkembang, seiring alam semesta ini berkembang, seiring berkembangya radiasi latar belakang kosmik, memperbaharui sejarah dan menciptakan masa depan.
Pendidikan, bagaimanapun, dimulai dari gurunya. Pendidikan yang baik tercipta jika gurunya baik. Siswa yang baik tentu tercipta dari pendidikan yang baik, dan siswa yang baik mengaplikasikan pendidikan tersebut untuk mengubah yang tidak baik menjadi hal yang baik. Oleh karenanya, seorang guru haruslah baik, denotatif dan konotatif. Bagaimana mungkin pelajar mau belajar jika isinya :( melulu? Dimana-mana :) ini jelas yang lebih disenangi. Jadi bagi para guru, senyumlah, karena senyum mencerminkan hal yang baik.
Baikpun tidak cukup. Sebagaimana tugas pokok guru, jadilah guru yang kaya akan pengetahuan. Tidak perlu penjelasan yang lebih lanjut bukan?
Dan, yang terakhir, jadilah guru yang berkarakter, dan konsisten dalam karakter itu. Tipikal nomor satu hingga nomor tiga merupakan contoh yang penulis rasa baik untuk dicontoh...jadikanlah guru sebagai panggilan anda, dharmabakti ilmu yang telah anda janjikan dihadapan rektor universitas tempat anda menempuh strata satu keguruan. Sungguh mulia bukan buatan, guru itu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar